Sejak manusia mendekat dengan alam, kita tahu telah melahirkan kebudayaan
berburu yang kemudian disusul kebudayaan bercocok tanam. Tradisi berburu
itu kalau kita amati masih lestari hingga kini dengan model yang sudah
tidak bisa dibilang sederhana. Kebudayaan berburu ini, mencuplik Lono
Simatupang (2013: 230), masih sangat akrab dengan pola-pola hidup orang
pesisir pantai: masyarakat nelayan yang menggantungkan hidup dari
eksplorasi laut: sederhananya teknik menangkap ikan dan sejenisnya
dengan berbagai cara. Sedang masyarakat pedalaman mendidik dirinya
dengan kebudayaan bercocok tanam. Masyarakat menanam (agraris) adalah
pembawaan masyarakat menetap dari masa lampau.
Pada masyarakat agraris, hubungan manusia dengan alam di mana mereka
menggelar hidup, sering juga dicatut dalam kisah-kisah folklore (cerita
rakyat), khazanah pepatah atau peribahasa juga banyak terdeskripsi dalam
bait kakawin-kakawin kuno yang melimpah. Dahulu, penduduk pedalaman
banyak mengeksplorasi alam dengan perhitungan-perhitungan matang dan
sikap toleran. Tak jarang, diciptakanlah–yang kini lebih kita kenal
sebagai–mitos, demi turut menjaga alam. Dalam kebudayaan mangsa (Jawa)
misalnya, betapa kaidah pertanian ini menyimpan pengalaman manusia yang
bersahabat dengan alam: menerima berkah sekaligus tantangannya.
Ajaran waktu di alam pertanian (pranata mangsa) menggambarkan bagaimana
sikap dan tindakan manusia menyiasati alam dengan begitu arif dan bijak.
Sebab, bagi petani Jawa, dengan mengutip Sindhunata (2009), alam bukan
lawan yang mesti ditaklukkan, melainkan teman yang dicintai. Karena
pendekatan dengan alam yang dibangun sejak dulu itulah para petani
begitu amat mengenal watak dan perilakunya, sebelum kemudian merumuskan
(membuat penanda) ke dalam bahasa keseharian mereka.
Geografi alam di Trenggalek, sebuah kota kecil arah barat daya Jawa
Timur, juga dibentuk dari dua lingkup ekologis, yang masing-masing
memunculkan dua kebudayaannya yang unik. Selain disanding oleh lautan,
Trenggalek merupakan daerah yang dilingkupi pegunungan dan perbukitan.
Kedekatan masyarakat yang telah terbina sejak lampau dari dua ekologi
ini, masing-masing memunculkan kebudayaan, secara spesifik, dunia
keseniannya yang berlainan. Dari lautan misalnya, Trenggalek punya
tradisi upacara Longkangan di pantai Sumbreng (Munjungan) juga tradisi
Larung Sembonyo di pantai Prigi (Watulimo) yang masih terjaga hingga
kini. Sementara dari dunia pertanian, setidaknya tercipta kesenian
jaranan yang khas Trenggalek. Kesenian ini lahir dari lingkungan
pertanian di daerah Dongko. Persawahan terbentang luas, baik di tanah
datar maupun di tanah miringnya (terasering).
Dalam masyarakat agraris dikenal sistem menanam yang merupakan terusan
dari pola-pola mengolah. Pola ini pada dasarnya merupakan suatu
keterhubungan kepercayaan masyarakat dengan ritus kesuburan: pemujaan
terhadap dewa-dewi kesuburan di masa lampau.
Dalam kosmologi masyarakat pedalaman agraris, bumi (lahan pertanian)
memang dianggap sebagai metafora ibu, tempat aktivitas mengolah bumi
atau tanah, gambaran bagi ritus sakral seksual. Karena itu, tak heran
bila jamak masyarakat agraris juga menyembah Dewi Sri (Laksmi) atau Dewi
Uma (Durga), yang di masa lampau merupakan perwujudan dari dewi-dewi
kesuburan. Dalam perjalanan ritus ini, mereka kemudian kerap
menyimbolkannya dengan paduan serasi antara Lingga-Yoni atau Phalisme.
Benda-benda ini secara umum banyak ditemukan dalam masyarakat agraris di
pedalaman. Di daerah Trenggalek, terutama di kantong-kantong
pertaniannya, sangat banyak dijumpai benda-benda tersebut: Linggo-Yoni,
yang hampir tersebar secara merata di berbagai kecamatan seantero
kabupaten kecil ini.
Turonggo Yakso
Seni jaranan khas daerah ini adalah Turonggo Yakso (perpaduan
kuda-buto). Turonggo Yakso adalah kesenian yang banyak menyedot
inspirasi dari upacara pertanian dalam rangka ”syukur(an)”. Upacara itu
dinamai Baritan yang merupakan kepanjangan dari ”bar ngarit tanduran”
(setelah musim panen saatnya menanam kembali). Dari upacara tersebut,
singkat cerita, diciptakan sebuah tari dalam bentuk atau genre jaranan,
seperti umumnya jaranan di Jawa Timur, namun sangat berbeda dalam gerak.
Senarai gerak tari dalam Turonggo Yakso ini sungguhnya diintepretasi
serta dikreasi dari patron tata cara bertani: diambil dari ritualitas
keseharian petani, mulai saat petani datang ke sawah (mengolah sawah)
hingga tiba masa panen. Karena itu, meski kesenian ini mengambil bentuk
jaranan, substansi dan gerak tarinya berbeda dengan kesenian jaranan
secara umum di Jawa Timur dan mungkin juga di Jawa Tengah. Tari ini
diciptakan oleh seorang seniman Dongko, bernama Pamrih, dengan patron
yang terbagi ke dalam ukel (gerak dasar) serta lawung (gerak kembangan
atau tambahan).
Kesenian jaranan memang cukup lama dikenal di Jawa, khususnya di sekitar
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seni jaranan sesungguhnya punya runtutan
historis yang cukup panjang sejak kebudayaan masa Hindu-Budha di Jawa.
Kala itu, ketika diadakan perayaan-perayaan peringatan hari-hari besar
agama, atau dalam rangka menyambut kedatangan seorang raja, atau
barangkali juga pembukaan sīma-sīma (semacam desa-desa) baru, selain
dengan tradisi makan bersama, kerap pula diselingi dengan ”kesenian”
yang dulu berupa pertunjukan-pertunjukan rakyat. Barangkali saja model
kesenian ini, salah satunya, yang menjadi cikal atau embrio model
kesenian macam jaranan itu di era jauh ke belakang.
Dan kalau kita amati, kesenian tradisi ini juga memanifestasikan kisah
Pañji. Pañji, selain cerita kegemaran masyarakat kuno saat itu, kalau
kita runut ke masa lampau, salah satunya, juga merupakan simbolisasi
atau prototype dari sosok Airlangga, seorang raja besar masa Kahuripan
(Jawa Timur). Sebagaimana kata Claire Holt dalam Art in Indonesia:
Continuities and Change, kisah Pañji dalam banyak hal adalah gambaran
bagi Arjuna Jawa Timur. Seorang pangeran mulia yang ideal dan tak
terkalahkan dalam setiap pertempuran.
Tokoh atau konsep Pañji itu dalam seni jaranan diadaptasi ke dalam sosok
penunggang kuda (ksatria). Di situ, seorang ksatria diharapkan mampu
mengendalikan nafsu yang berada dalam diri buto (raksasa). Mengendalikan
nafsu yang jelek tersebut agar dapat bekerjasama dengan para petani.
Jadi kemampuan para ksatria dalam menunggangi kuda-buto (turonggo-yakso)
tersebut digambarkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan nafsu,
bahkan menaklukkannya. Buto sendiri sering diartikan sebagai sebuah
tenaga potensial. Dan njaran alias menunggangi kuda kepang (dari kulit
sapi berkepala raksasa) sungguhnya adalah cara meluluhkan dan
mengarahkan tenaga potensial yang berada dalam diri buto pada ranah
kebaikan.
Adapun sedikit dari gerak dalam tari Turonggo Yakso di antaranya sebagai
berikut: gerak mula-mula adalah sembahan yang menandai makna nenuwun
(meminta; berdoa), digambarkan mirip gerakan mencabuti rumput yang
mengganggu tanaman. Lalu terdapat ukel negar sengkrak yang merupakan
gambaran bagi para petani sewaktu berjalan di pematang sehabis mencabuti
rumput. Sedang saat petani mulai mengolah (mencangkul) tanah,
digambarkan dengan ukel sengkrak gejuk. Ketika menanam (tandur)
tergambar dalam ukel sirik gejuk. Sirik gejuk ini gerakannya jalan ke
samping maupun ke belakang (nyirik). Dalam nyirik biasanya kaki diangkat
dan digejukkan, karenanya dinamai sirik gejuk.
Lalu ada ukel gagak lincak, semacam membersihkan rumput dengan tangan
kanan dan kiri, kemudian rumput dimasukkan ke dalam lumpur dengan cara
diinjak dengan kaki. Pada saat petani memupuk tanaman ditandai ukel
lompat gantung. Sementara saat tiba waktu panen digambarkan ke dalam
ukel loncat gejuk. Loncat gejuk ini penggambaran aktivitas panen semacam
nggeblok (memisahkan bulir padi dari tangkai) di sawah.
Itulah sedikit cuplikan dari beberapa landasan atau filosofi gerak dalam
tari jaranan Turonggo Yakso, Trenggalek. Jalan cerita dan kekuatan tari
jaranan ini tentu saja membedakannya dengan seni jaranan dari tempat
lain. Jika digelar pada sebuah panggung lengkap dengan seperangkat
gamelan, rias dan alur tari yang lebih komplit, akan tergambar bagaimana
eksotika dunia persawahan (agraris) itu telah dipindah-terjemahkan ke
dalam alur gerak tari jaranan yang tidak kalah eksotis dan menawannya.
Sumber: http://www.pama.or.id/2015/01/turonggo-yakso-seni-tradisi-yang.html
0 komentar:
Posting Komentar